Hari ini selasa, 25 Maret 2014, sebentar lagi Pelatihan Penguatan kelompok SPP di kecamatan Padang Bolak. Tempatku menjadi FK-nya. Ada bahan bacaan yang baik untuk disimak mengenai pengelolaan kelompok SPP ataupun mengenai Simpan Pinjam Kelompok Perempuan ini. Mari kita mulai:
bismillahirrahmanirrahim.........
JEBAKAN KEMISKINAN DALAM PENGELOLAAN SPP
Akhir-akhir ini kasus penyimpangan dalam pengelolaan
kegiatan SPP semakin banyak ditemukan. Jika para pelaku program mau jujur,
sepertinya tidak ada kecamatan yang bersih dari kasus ini. Hanya saja mungkin
masih malu-malu, sehingga masalah penyelewengan masih dilaporkan sebagai
masalah manajerial / microfinance.
Jika tidak segera diantisipasi, sepertinya problematika
pengelolaan SPP tidak lama lagi akan menjadi BOM waktu. Hal utama yang menjadi
penyebab terus meningkatnya kasus pinjaman bermasalah, utamanya terkait dengan
pinjaman macet (non performance loan) adalah
karena tidak jelasnya konsepsi pengentasan kemiskinan melalui dana bergulir
ini.
Ketidakjelasan konsep itu nampak dengan tidak adanya
panduan dalam memfasilitasi pengentasan kemiskinan melalui dana bergulir. PTO
Penjelasan 10 hanya berangkat dari kondisi masyarakat miskin yang telah
memiliki usaha dan berkelompok, baik simpan pinjam, usaha bersama maupun aneka
usaha, sehingga mengandaikan masalah yang mereka hadapi sebagai masalah akses
terhadap sumber permodalan.
Asumsi masalah akses terhadap sumber permodalan sebagai
masalah utama RTM adalah lompatan logika yang menafikan realitas sosial sebagai
fakta empirik di masyarakat. Tidak banyak masyarakat miskin yang dapat
digolongkan sebagai RTM produktif yang punya ketrampilan cukup dan memiliki
kegiatan usaha ekonomi. Kecuali mungkin di beberapa tempat yang geliat industri
kreatifnya telah ada dan maju sebelum PNPM lahir.
Masalah RTM yang sebenarnya, dan ini juga masalah
mayoritas masyarakat pada umunya, adalah minimnya ketrampilan,
kreatifitas dan kemampuan kewirausahaan. Jika mereka yang memiliki
permasalahan ini, kemudian difasilitasi dalam kelompok-kelompok SPP dan
mengakses pinjaman di PNPM, maka hakekatnya telah memasukan mereka dalam
jebakan kemiskinan yang diciptakan program.
Jebakan kemiskinan ini terjadi karena pinjaman
dipergunakan dalam kegiatan konsumsi sehingga
menjadi beban bagi ekonomi keluarga. Bukan untuk
kegiatan produktif investatif yang akan
meningkatkan mendapatan keluarga. Dalam pandangan konsultan ekonomi, hutang
untuk kegiatan konsumsi adalah hutang buruk yang akan menggerogoti finansial
keluarga dengan bunga yang harus ditanggungnya.
Dengan demikian, ketentuan dasar dalam pengelolaan dana
bergulir yang diarahkan untuk memberikan kemudahan akses pendanaan usaha bagi
RTM, sepertinya masih sulit direalisasikan, tanpa ada upaya untuk membangun kapasitas kewirausahaan bagi mereka. Hal ini karena
kelompok RTM bukanlah kelompok yang kesulitan permodalan, namun kesulitan
mengembangkan kapasitasnya. Kemampuan mereka hanyalah menjadi pekerja/buruh,
sehingga hanya berharap pada lapangan kerja yang baik bagi mereka. Sedangkan
mengandalkan bekerja dikegiatan fisik PNPM paling hanya 3 bulan dan setelah itu
harus cari pekerjaan lain.
Blunder Pemanfaat RTM
Dalam Penjelasan 10 tentang ketentuan pendanaan
disebutkan bahwa Kelompok yang didanai meliputi: Kelompok
Simpan Pinjam dan Kelompok Usaha Bersama, Kelompok Aneka Usaha dengan pemanfaat
RTM. Ketentuan ini, dalam
praktiknya telah menjadi blunder bagi para pelaku program, karena sulitnya
dijalankan. Bagaimana mungkin kelompok bisa jalan jika seluruh pemanfaatnya
adalah RTM? sedangkan RTM yang ada adalah mereka yang tidak memiliki usaha.
Jika mau jujur, kalompok SPP yang selama ini mengakses
dana ke PNPM bukanlah kelompok dengan anggota RTM. Namun lebih pada kelompok masyarakat menengah ke atas. Juga bukanya
tidak mampu mengakses dana ke lambaga keuangan formal, namun karena melihat
peluang akses pendanaan di PNPM yang mudah dan terbuka lebar.
Karena itu kegiatan pameran yang setiap tahun selalu
diadakan dengan menampilkan produk-produk kelompok SPP, sebenarnya adalah
produk usaha dari kelas ekonomi menengah ke atas yang bisa jadi cuma
mempekerjakan kalangan RTM.
Parahnya lagi, para pelaku PNPM pola pikirnya juga telah
terprogram pada sebatas bagaimana mengejar pendapatan dan meminimalisir pengendapan dana (idle capital), sehingga tiak pernah mempersoalnya bagaimana
pinjaman tersebut dikelola. Dengan kata kunci “yang penting lancar”, maka tidak
ada urusan, apakah kelompok itu mengelola pinjaman dengan baik atau sebaliknya.
Sudah banyak para pemanfaat dari kalangan RTM yang
coba-coba menjadi anggota SPP, namun karena tidak punya ketrampilan dan kemampuan
wirausaha, akhirnya harta benda mereka terjual untuk melunasi tunggakan dan
akhirnya merantau ke luar pulau. Bahkan keluar negeri menjadi TKW.
Lebih-lebih setelah munculnya SOP
Panduan Penetapan Lokasi Potensi masalah dan kecamatan bermasalah yang
mengukur progres penanganan masalah berdasarkan tingkat pengembalian dana, maka
upaya penagihan dari para pelaku ditingkat kecamatan kepada penunggak nampak
semakin garang. Atas nama menyelamatkan kecamatan dari
saknsi program, maka harta benda RTM yang tersisapun terpaksa
dikompensasi dengan angsuran yang menunggak.
Karenanya bagi para pelaku program, memberi ruang bagi
kelompok SPP dari kalangan menengah ke atas tentu lebih aman dan lancar
daripada bersikukuh dengan kelompok dari kalangan RTM, dan memang hakekatnya
tidak ada kelompok RTM. Karenanya bilamana riwayat pinjaman di UPK terlihat
lancar jaya, maka kawan-kawan membusungkan dada dulu. Karena sebenarnya
pelayanan kepada RTM telah terabai.
Kreatifitas vs Ketakutan Fasilitator
Mengatasi problematika RTM yang umumnya minim
ketrampilan, kreatifitas dan kemampuan kewirausahaan sebagaimana diuraikan di
atas, dibutuhkan kreatifitas fasilitator yang berani menerobos ruang-ruang
fasilitasi yang belum tersentuh petunjuk teknis.
Diperlukan kajian-kajian untuk menerjemahkan ketentuan
program yang dirasa masih absurd agar lebih membumi, sehingga inovasi yang
muncul tidak dianggap terlalu berani dan melawan kebiasaan yang sudah berjalan
di PNPM. Hal ini dimaksudkan agar upaya pengentasan kemiskinan dengan biaya
yang begitu besar ini, tidak terus menerus mengabaikan prinsip dasar PNPM yang
katanya bertumpu pada pembangunan manusia dan berorentasi pada masyarakat
miskin.
Harus ada upaya menggeser secara perlahan, kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan melalui PNPM yang 99% adalah fisik prasarana semata ini. Agar
kegiatan peningkatan kapasitas ketrampilan masyarakat miskin semakin mendapat
porsi yang sepantasnya. Dengan demikian, penambahan modal SPP dari BLM akan
berbanding lurus dengan peningkatan unit usaha ekonomi baru dari para pemanfaat
SPP yang dilahirkan dari kegiatan peningkatan kapasitas. Sehingga besarnya idle
capital di UPK akan dapat ditekan.
Bukan hanya pelatihan peningkatan kapasita ketrampilan
saja yang harus didorong, namun sarana prasarana dasar ekonomi, seperti peralatan,
tempat usaha dan pemasaran bagi kelompok RTM juga harus disiapkan. Pasca
pelatihan mereka harus dipaksa untuk menjalani kegiatan wirausaha dalam sebuah
kelompok usaha ekonomi produktif dibawah supervisi fasilitator. Bila perlu dengan
ancaman sanksi bagi yang tidak mau sebagai konsekwensi kegiatan
pemeliharaan atau tindaklanjut pasca
pelatihan.
Jika selama ini ketentuan dalam PTO terkait dengan usulan
sarana prasarana dasar hanya dipahami sebatas kegiatan peningkatan jalan, jembatan,
drainase dll, maka itu sebenarnya hanya menghubung-hubungkan saja. RTM tidak
butuh jalan mulus yang kanan kirinya lengkap dengan drainase. Yang membutuhkan
itu semua adalah mereka yang sudah kaya, yang berkepentingan melancarkan
bisnisnya yang memang sudah lancar dengan memanfaatkan dana SPP.
Karena itu dibutuhkan keberanian fasilitator untuk
melakukan intervensi positif dalam tahap perencanaan. Jangan takut dikatakan
melanggar kode etik. Intervensi positif tidak melanggar kode etik. Tapi justru
melaksanakan kode etik sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat. Menunggu
masyarakat miskin berfikir cerdas, kreatif dan visioner sehingga muncul usulan
yang menjawab langsung permasalahan mereka di tengah intervensi dari elit desa,
tentu tidak mungkin. Karenanya fasilitator harus ‘mengarahkan’ mereka untuk
menemukan usulan kegiatan yang berdimensi ekonomis bagi mereka.
Selain itu kegiatan pembinaan kelompok yang ada pemanfaat
RTMnya juga sudah saatnya diarahkan pada upaya untuk membangkitkan jiwa
wirausaha para anggota. Jika selama ini
pembinaan kelompok dari para pelaku ditingkat kecamatan hanya fokus pada
administrasi dan untuk tujuan menagih ansuran yang menunggak, maka selesai
program silahkan melamar jadi deptcollector
perusahaan pembiayaan saja.
Bahkan DOK Pelatihan dan dana penguatan kelembagaan dari
surplus UPK juga penting untuk direncanakan untuk kegiatan pelatihan kewirausahaan bagi para pelaku dan kelompok SPP, agar masyarakat
miskin mendapat ruang untuk belajar menggapai kemanirian ekonominya. Jika
pemerintah telah merespon pentingnya pengembangkan sektor usaha kecil dengan
Kemetrerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada 19 Oktober
2011. Kenapa kita di PNPM masih tabu membincang konsep pengembangan ekonomi
kreatif?
Alhasil kegiatan SPP bagi RTM tanpa diimbangi dengan
upaya serius untuk mengawal mereka menjadi wirausahawan sejati, melalui
seperangkat peningkatan kapasitas, penyediaan sarana prasaran ekonomi,
pengorganisasian menjadi kelompok usaha sampai dengan fasilitasi permodalan adalah
sama halnya dengan jebakan yang makin memiskinkannya. jika ini terasa sulit,
maka teruslah menambah modal SPP dari BLM sambil berharap suatu saat kelompok
RTM itu tiba-tiba akan punya usaha dan membutuhkan bermodalan dari UPK. Wallahu”alam.