Senin, 24 Maret 2014

JEBAKAN KEMISKINAN DALAM PENGELOLAAN SPP



Hari ini selasa, 25 Maret 2014,  sebentar lagi Pelatihan Penguatan kelompok SPP di kecamatan Padang Bolak.  Tempatku menjadi FK-nya.  Ada bahan bacaan yang baik untuk disimak mengenai pengelolaan kelompok SPP ataupun mengenai Simpan Pinjam Kelompok Perempuan ini.   Mari kita mulai:
bismillahirrahmanirrahim.........

JEBAKAN KEMISKINAN DALAM PENGELOLAAN SPP

Akhir-akhir ini kasus penyimpangan dalam pengelolaan kegiatan SPP semakin banyak ditemukan. Jika para pelaku program mau jujur, sepertinya tidak ada kecamatan yang bersih dari kasus ini. Hanya saja mungkin masih malu-malu, sehingga masalah penyelewengan masih dilaporkan sebagai masalah manajerial / microfinance.

Jika tidak segera diantisipasi, sepertinya problematika pengelolaan SPP tidak lama lagi akan menjadi BOM waktu. Hal utama yang menjadi penyebab terus meningkatnya kasus pinjaman bermasalah, utamanya terkait dengan pinjaman macet (non performance loan) adalah karena tidak jelasnya konsepsi pengentasan kemiskinan melalui dana bergulir ini.

Ketidakjelasan konsep itu nampak dengan tidak adanya panduan dalam memfasilitasi pengentasan kemiskinan melalui dana bergulir. PTO Penjelasan 10 hanya berangkat dari kondisi masyarakat miskin yang telah memiliki usaha dan berkelompok, baik simpan pinjam, usaha bersama maupun aneka usaha, sehingga mengandaikan masalah yang mereka hadapi sebagai masalah akses terhadap sumber permodalan.

Asumsi masalah akses terhadap sumber permodalan sebagai masalah utama RTM adalah lompatan logika yang menafikan realitas sosial sebagai fakta empirik di masyarakat. Tidak banyak masyarakat miskin yang dapat digolongkan sebagai RTM produktif yang punya ketrampilan cukup dan memiliki kegiatan usaha ekonomi. Kecuali mungkin di beberapa tempat yang geliat industri kreatifnya telah ada dan maju sebelum PNPM lahir.

Masalah RTM yang sebenarnya, dan ini juga masalah mayoritas masyarakat pada umunya, adalah minimnya ketrampilan, kreatifitas dan kemampuan kewirausahaan. Jika mereka yang memiliki permasalahan ini, kemudian difasilitasi dalam kelompok-kelompok SPP dan mengakses pinjaman di PNPM, maka hakekatnya telah memasukan mereka dalam jebakan kemiskinan yang diciptakan program.

Jebakan kemiskinan ini terjadi karena pinjaman dipergunakan dalam kegiatan konsumsi sehingga menjadi beban bagi ekonomi keluarga. Bukan untuk kegiatan produktif investatif yang akan meningkatkan mendapatan keluarga. Dalam pandangan konsultan ekonomi, hutang untuk kegiatan konsumsi adalah hutang buruk yang akan menggerogoti finansial keluarga dengan bunga yang harus ditanggungnya.

Dengan demikian, ketentuan dasar dalam pengelolaan dana bergulir yang diarahkan untuk memberikan kemudahan akses pendanaan usaha bagi RTM, sepertinya masih sulit direalisasikan, tanpa ada upaya untuk membangun kapasitas kewirausahaan bagi mereka. Hal ini karena kelompok RTM bukanlah kelompok yang kesulitan permodalan, namun kesulitan mengembangkan kapasitasnya. Kemampuan mereka hanyalah menjadi pekerja/buruh, sehingga hanya berharap pada lapangan kerja yang baik bagi mereka. Sedangkan mengandalkan bekerja dikegiatan fisik PNPM paling hanya 3 bulan dan setelah itu harus cari pekerjaan lain.

Blunder Pemanfaat RTM
Dalam Penjelasan 10 tentang ketentuan pendanaan disebutkan bahwa Kelompok yang didanai meliputi: Kelompok Simpan Pinjam dan Kelompok Usaha Bersama, Kelompok Aneka Usaha dengan pemanfaat RTM. Ketentuan ini, dalam praktiknya telah menjadi blunder bagi para pelaku program, karena sulitnya dijalankan. Bagaimana mungkin kelompok bisa jalan jika seluruh pemanfaatnya adalah RTM? sedangkan RTM yang ada adalah mereka yang tidak memiliki usaha.

Jika mau jujur, kalompok SPP yang selama ini mengakses dana ke PNPM bukanlah kelompok dengan anggota RTM. Namun lebih pada kelompok masyarakat menengah ke atas. Juga bukanya tidak mampu mengakses dana ke lambaga keuangan formal, namun karena melihat peluang akses pendanaan di PNPM yang mudah dan terbuka lebar.

Karena itu kegiatan pameran yang setiap tahun selalu diadakan dengan menampilkan produk-produk kelompok SPP, sebenarnya adalah produk usaha dari kelas ekonomi menengah ke atas yang bisa jadi cuma mempekerjakan kalangan RTM.

Parahnya lagi, para pelaku PNPM pola pikirnya juga telah terprogram pada sebatas bagaimana mengejar pendapatan dan meminimalisir pengendapan dana (idle capital),  sehingga tiak pernah mempersoalnya bagaimana pinjaman tersebut dikelola. Dengan kata kunci “yang penting lancar”, maka tidak ada urusan, apakah kelompok itu mengelola pinjaman dengan baik atau sebaliknya.

Sudah banyak para pemanfaat dari kalangan RTM yang coba-coba menjadi anggota SPP, namun karena tidak punya ketrampilan dan kemampuan wirausaha, akhirnya harta benda mereka terjual untuk melunasi tunggakan dan akhirnya merantau ke luar pulau. Bahkan keluar negeri menjadi TKW.

Lebih-lebih setelah munculnya SOP Panduan Penetapan Lokasi Potensi masalah dan kecamatan bermasalah yang mengukur progres penanganan masalah berdasarkan tingkat pengembalian dana, maka upaya penagihan dari para pelaku ditingkat kecamatan kepada penunggak nampak semakin garang. Atas nama menyelamatkan kecamatan dari saknsi program, maka harta benda RTM yang tersisapun terpaksa dikompensasi dengan angsuran yang menunggak.

Karenanya bagi para pelaku program, memberi ruang bagi kelompok SPP dari kalangan menengah ke atas tentu lebih aman dan lancar daripada bersikukuh dengan kelompok dari kalangan RTM, dan memang hakekatnya tidak ada kelompok RTM. Karenanya bilamana riwayat pinjaman di UPK terlihat lancar jaya, maka kawan-kawan membusungkan dada dulu. Karena sebenarnya pelayanan kepada RTM telah terabai.

Kreatifitas vs Ketakutan Fasilitator
Mengatasi problematika RTM yang umumnya minim ketrampilan, kreatifitas dan kemampuan kewirausahaan sebagaimana diuraikan di atas, dibutuhkan kreatifitas fasilitator yang berani menerobos ruang-ruang fasilitasi yang belum tersentuh petunjuk teknis.

Diperlukan kajian-kajian untuk menerjemahkan ketentuan program yang dirasa masih absurd agar lebih membumi, sehingga inovasi yang muncul tidak dianggap terlalu berani dan melawan kebiasaan yang sudah berjalan di PNPM. Hal ini dimaksudkan agar upaya pengentasan kemiskinan dengan biaya yang begitu besar ini, tidak terus menerus mengabaikan prinsip dasar PNPM yang katanya bertumpu pada pembangunan manusia dan berorentasi pada masyarakat miskin.

Harus ada upaya menggeser secara perlahan, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan melalui PNPM yang 99% adalah fisik prasarana semata ini. Agar kegiatan peningkatan kapasitas ketrampilan masyarakat miskin semakin mendapat porsi yang sepantasnya. Dengan demikian, penambahan modal SPP dari BLM akan berbanding lurus dengan peningkatan unit usaha ekonomi baru dari para pemanfaat SPP yang dilahirkan dari kegiatan peningkatan kapasitas. Sehingga besarnya idle capital di UPK akan dapat ditekan.

Bukan hanya pelatihan peningkatan kapasita ketrampilan saja yang harus didorong, namun sarana prasarana dasar ekonomi, seperti peralatan, tempat usaha dan pemasaran bagi kelompok RTM juga harus disiapkan. Pasca pelatihan mereka harus dipaksa untuk menjalani kegiatan wirausaha dalam sebuah kelompok usaha ekonomi produktif dibawah supervisi fasilitator. Bila perlu dengan ancaman sanksi bagi yang tidak mau sebagai konsekwensi kegiatan pemeliharaan  atau tindaklanjut pasca pelatihan.

Jika selama ini ketentuan dalam PTO terkait dengan usulan sarana prasarana dasar hanya dipahami sebatas kegiatan peningkatan jalan, jembatan, drainase dll, maka itu sebenarnya hanya menghubung-hubungkan saja. RTM tidak butuh jalan mulus yang kanan kirinya lengkap dengan drainase. Yang membutuhkan itu semua adalah mereka yang sudah kaya, yang berkepentingan melancarkan bisnisnya yang memang sudah lancar dengan memanfaatkan dana SPP.

Karena itu dibutuhkan keberanian fasilitator untuk melakukan intervensi positif dalam tahap perencanaan. Jangan takut dikatakan melanggar kode etik. Intervensi positif tidak melanggar kode etik. Tapi justru melaksanakan kode etik sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat. Menunggu masyarakat miskin berfikir cerdas, kreatif dan visioner sehingga muncul usulan yang menjawab langsung permasalahan mereka di tengah intervensi dari elit desa, tentu tidak mungkin. Karenanya fasilitator harus ‘mengarahkan’ mereka untuk menemukan usulan kegiatan yang berdimensi ekonomis bagi mereka.

Selain itu kegiatan pembinaan kelompok yang ada pemanfaat RTMnya juga sudah saatnya diarahkan pada upaya untuk membangkitkan jiwa wirausaha para anggota.  Jika selama ini pembinaan kelompok dari para pelaku ditingkat kecamatan hanya fokus pada administrasi dan untuk tujuan menagih ansuran yang menunggak, maka selesai program silahkan melamar jadi deptcollector perusahaan pembiayaan saja.

Bahkan DOK Pelatihan dan dana penguatan kelembagaan dari surplus UPK juga penting untuk direncanakan untuk kegiatan pelatihan kewirausahaan bagi para pelaku dan kelompok SPP, agar masyarakat miskin mendapat ruang untuk belajar menggapai kemanirian ekonominya. Jika pemerintah telah merespon pentingnya pengembangkan sektor usaha kecil dengan Kemetrerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada 19 Oktober 2011. Kenapa kita di PNPM masih tabu membincang konsep pengembangan ekonomi kreatif?

Alhasil kegiatan SPP bagi RTM tanpa diimbangi dengan upaya serius untuk mengawal mereka menjadi wirausahawan sejati, melalui seperangkat peningkatan kapasitas, penyediaan sarana prasaran ekonomi, pengorganisasian menjadi kelompok usaha sampai dengan fasilitasi permodalan adalah sama halnya dengan jebakan yang makin memiskinkannya. jika ini terasa sulit, maka teruslah menambah modal SPP dari BLM sambil berharap suatu saat kelompok RTM itu tiba-tiba akan punya usaha dan membutuhkan bermodalan dari UPK. Wallahu”alam.




Senin, 10 Maret 2014

MUSRENBANG KECAMATAN PADANG BOLAK

Point terpenting pada musrenbang kecamatan padang bolak ini, 18 februari 2014 adalah pengintegrasi kegiatan PNPM MPd Kecamatan Padang Bolak. dalam musrenbang telah disampaikan :
1. Penetapan Desa-desa yang mendapat alokasi Fisik TA. 2014,
2. Pemilihan BKAD dan penetapan Peraturan Bersama mengenai BKAD

berikut foto musrenbang kecamatan padang bolak: